Kemegahan Istana Maimun dan Hikayat Meriam yang Terbelah

Jakarta, Viral

Bangunan megah bernuansa khas melayu di tengah kota Medan itu mencuri perhatian saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara itu. Di depan, tertampang jelas bangunan itu bernama Istana Maimun, sebuah bangunan bersejarah di Medan.

Jumat sore (12/8), saya dan Tim Jelajah #SerunyaIndonesia bersama Tik Tok berkesempatan mengunjungi istana dengan luas sebesar 2.772 meter persegi itu.

Dari luar, halaman istana ini lebih terlihat seperti alun-alun sebuah kota. Pasalnya, sore itu banyak masyarakat sekitar yang turut menghabiskan waktu di sana.

Belum lagi di sisi kiri dan kanan halaman juga berjejer pedagang kaki lima (PKL), sehingga membuat halaman istana jadi lebih hiruk pikuk.

Untuk sekadar menghabiskan waktu di halaman depan memang tak membutuhkan tarif masuk. Anda mungkin hanya mengeluarkan uang untuk biaya parkir kendaraan Rp5.000.

Namun, apabila Anda ingin melihat-lihat megahnya Istana Maimun dari dalam, pihak pengelola mematok harga Rp10 ribu untuk tarif masuk.

Sore itu saya masuk ke istana bersama tim didampingi Teuku Hamsah selaku Juru Kunci dan Juru Pelihara Istana Maimun sebagai pemandu. Dari penjelasan Teuku diketahui bahwa istana ini berdiri sejak akhir abad ke-19.

“Sultan Ma’Moen Al-Rasyid Perkasa yang mendirikan istana ini pada tahun 1888. Permaisurinya bernama Siti Maimunah, maka diberikan nama Istana Maimun,” jelas Teuku.


Suasana di dalam Istana Maimun, Medan. (Foto: Viral/Damar Iradat)

Istana Maimun didesain oleh arsitek sekaligus tentara kerajaan Belanda, Capt. Theodoor Van Erp dan mulai dibangun pada 26 Agustus 1888 sampai 18 Mei 1891. Maka tak heran bangunan ini memiliki sedikit nuansa khas Eropa dalam arsitekturnya.

Bangunan ini memiliki dua lantai dan tiga bagian, yakni bangunan induk, bangunan sayap kiri dan sayap kanan, dengan total 30 ruangan.

Teuku menjelaskan saat ini semua bangunan istana dan furniture masih asli dari awal dibangun. Hanya cat dindingnya yang diperbarui, karena warnanya memudar.

Begitu masuk dalam ruangan, tampak jelas istana ini didominasi warna kuning keemasan. Di beberapa bagian juga terdapat beberapa koleksi perhiasan asli milik permaisuri sultan seperti kalung, gelang, dan beberapa anting emas.

Kendati begitu, kesan megah istana ini sedikit berkurang ketika di ruangan utama kami menemukan toko-toko cinderamata dan penyewaan busana adat.

Di dalam istana ini pengunjung memang bisa menyewa pakaian adat untuk sekadar berfoto di dalam istana.

Teuku menjelaskan bahwa saat ini Istana Deli masih memiliki seorang Sultan, yakni Sultan ke-XIV Tuanku Sultan Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam Shah.

“Sultan itu apabila meninggal diteruskan oleh anaknya, turun temurun. Jadi, sekarang istana kita sultannya masih ada, tapi sudah yang ke-14,” jelas dia.

“Sekarang usianya 23 tahun, dia tinggalnya di Semarang, Jawa Tengah. Dia kuliah di sana,” ujarnya menambahkan.


Istana MaimunKondisi di dalam Istana Maimun. (Foto: Viral/Damar Iradat)

Sultan Mahmud Aria Lamantjiji merupakan Sultan Deli termuda dalam sejarah. Ia naik tahta sejak 23 Juli 2005, menggantikan ayahnya, Sultan Otteman Mahmud Ma’amun Padrap Perkasa Alam Shah yang meninggal dunia.

Hikayat Meriam Puntung

Ketika hendak meninggalkan kompleks istana, perhatian saya tertuju pada salah satu bangunan kecil berbentuk rumah dengan atap khas adat Karo di sisi sebelah kanan Istana.

Sedikit penasaran, saya pun mencoba mendekat ke bangunan tersebut. Ternyata, di dalamnya terdapat sebuah meriam yang dikeramatkan, Meriam Puntung.

Saat itu saya tak lagi bisa masuk ke dalam bangunan, karena jam berkunjung telah usai. Namun, dari cerita masyarakat sekitar, Meriam Puntung ini memiliki legenda dan mitos tersendiri.

Meriam Puntung dapat diartikan sebagai Meriam Buntung. Hikayat menjelaskan bahwa Meriam Puntung adalah penjelmaan Mambang Khayali, adik Puteri Hijau dari Kerajaan Haru yang memerintah sekitar tahun 1954.

Suatu ketika, Puteri Hijau mendapat pinangan dari Raja Aceh, namun, pinangan tersebut ditolak. Hal ini lantas membuat murka Raja Aceh dan menyerang Kerajaan Haru.

Mambang Khayali lantas mengubah dirinya menjadi sebuah meriam untuk mempertahankan istana. Akibat larasnya yang panas karena terus menerus dipakai menembaki pasukan Raja Aceh, laras meriam panas dan pecah terbelah menjadi dua bagian.

Ujung meriam diceritakan melayang dan jatuh di Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Tanah Karo. Sementara, pecahan satunya lagi yang kini berada di halaman Istana Maimun. 

(dmi/wiw)

[Gambas:Video CNN]